Berkhayal adalah hobi yang tanpa kusadari telah
kulakukan sejak SMP. Seiring berjalannya waktu, kuabadikan khayalan-khayalan
itu ke dalam sebuah tulisan. Aku mendapatkan gaya baru dalam berkhayal setelah
mengenalmu.
Aku berkhayal dengan menikmati senja yang hendak
tenggelam di dasar lautan rindunya, dengan malam yang menyimpan melankolinya. Menghisap
nikotin di teras rumah, serta membisu di antara hingar bingar kehidupan.
Mengingat kembali kisah itu membuat bibirku tersenyum. Kisah
itu adalah hal yang tidak akan pernah aku lupakan. Sebab kata Soekarno “Jangan
sekali-kali melupakan sejarah” maka tentu aku tak akan pernah bisa lupa.
Ya, aku ingat saat itu aku duduk di bangku kelas 2 Sekolah
Menengah Kejuruan. Aku yang hanya anak desa ini ingin mencoba merubah tata
kehidupan menjadi lebih baik. Mengais ilmu dan pengalaman di dalam gedung yang
bernama sekolah. Namun naasnya, bukan hanya ilmu yang kudapat, tetapi juga
cinta.
****
“Buatlah kelompok dengan masing-masing kelompok dua
orang!” tegas seorang guru si kelasku.
Dengan berani aku menunjukkmu untuk menjadi partnerku. Sorak sorai dari
kawan sekilas menyertaiku yang berjalan mengahampiri meja tempatmu duduk dengan
manis.
Tangan ini gemetar, saat semesta memberikan kesempatan
untukku duduk di sampingmu. Tak cukup keberanianku untuk menatap mata indahmu
itu. Saat kau suguhkan senyum manis yang hanya bisa kubalas dengan senyuman
ragu.
Entah, aku tak tau apa yang ada di dalam kepalamu saat
itu. Seorang kerdil secara terang-terangan berani memilihmu walau dengan maksud
yang tersirat. Aku tak peduli dengan bisikan yang berusaha menahanku untuk
tidak memilihmu. Aku keras kepala, hanya demi bisa duduk berdua bersamamu.
****
Goresan pulpen dan kertas terpadu menjadi satu
menuliskan tentang dirimu. Kamu lebih cantik yang hari ini, dengan jilbab dan
ciput kesukaanmu, mata sipitmu, yang dihias lengkung senyummu, serta caramu
tertawa saat menggangguku. Semua itu melemahkanku.
Pada malam berikutnya, kuuji
keberanianku dengan sekedar bertanya “kok belum tidur?” ketikku membalas
sesuatu yang kau unggah di akun media sosialmu. Kutunggu beberapa menit,
kupejamkan mataku, memusnahkan harapan bahwa beberapa pertanyaan yang kubuat
malam ini tak jadi kukirimkan padamu.
“Kringg” dengan renyah hpku berbunyi. Mataku terbuka,
reflek kunyalakan layar gadgetku. Ternyata pesanmu yang masuk membalas pesanku.
Senyumku mengembang. Pertanyaan-pertanyaan yang beberapa menit lalu kususun,
akhirnya bisa kusampaikan padamu.
“Iya nih, masih belum ngantuk,” balasmu. Berlanjut
dengan basa-basi percakapan yang mungkin tak penting bagimu, tetapi bagiku Ia seperti
air yang kau gunakan untuk menyiram tunas yang tumbuh di hatiku. Dan tanpa
kuduga, “kerudung ini cocok ga
buat aku?” kau kirim wajah cantikmu dengan kerudung warna biru.
Beberapa pertanyaan datang dan mengantre
untuk dicarikan jawaban. Mengapa kau kirim wajah cantikmu itu? Apakah memang
benar sekedar menanyakan pendapat atau ada maksud tersirat yang ingin kau
sampaikan untukku? Ataukah aku yang terlalu percaya diri? Tak mungkin bisa
kujawab sendiri pertanyaan itu, apakah kamu bisa membantuku menemukan
jawabannya? Seharusnya kamu bisa menjawabnya, karena pertanyaan itu atas
keresahan di otakku untuk disampaikan kepadamu.
Hingga akhirnya, kuakhiri percakapan kita dengan,
“selamat malam” dan kau tutup dengan, “selamat malam juga”. Tak lama setelah itu tanda online di whatsappmu menghiasi yang menandakan percakapan kita malam ini telah
usai.
Percakapan memang telah berhenti, tapi tidak dengan otak dan hatiku.
Seperti minum kopi, zat kafein yang bereaksi pada otak sehingga menahanku agar
tak tidur. Sudah
kupejamkan mata agar bisa menidurkan raga ini, bukan tenggelam di alam bawah
sadar
yang kudapati
justru wajahmu yang terlukis di sana. Entahlah aku tak tahu, apakah jatuh cinta itu rasanya seperti
ini, aku tak tahu bagaimana cara menyikapinya. Kubiarkan tubuh ini menyepi
dihimpit tembok, di atas kasur melepaskan beberapa tekanan. Dan kemudian aku terlelap dengan membawa senyummu di
imaji ku.
****
Pagi itu kamu terlihat murung, ku dengar kamu pagi ini telah dilecehkan oleh orang,
yang ternyata adalah temanku. Kudatangi orang itu, dengan tanpa bertanya dengan
penuh emosi ku Ia dengan tanganku, sampai akhirnya kami terlibat perkelahian
yang hebat. Hingga kau datang dan menahanku untuk berhenti.
Kau menggenggam tanganku kemudian
membawaku ke UKS karena dahiku berdarah terkena pukulan. Duniaku serasa hancur mendengar suara sendu tangismu. Ingin rasanya memeluk kepalamu sembari mengusap air matamu.
“Udah ya jangan nangis,” hanya itu
yang bisa kuucap, sembari tanganku menghapus air mata yang mengalir membasahi
pipi bulatmu.
Matamu menatap mataku dan tangismu
malah semakin menjadi. Rasanya begitu menyayat, bagaimana tidak? Melihat orang
yang kita sayang disakiti bahkan sampai meneteskan air mata. Lagi-lagi aku
hanya bisa diam, lagi-lagi hanya tanganku yang bisa bergerak dengan memberikan ketenangan di
kepalamu.
“Ah sial, aku tak bisa apa-apa,”
gerutuku dalam hati.
Esoknya kulihat senyum mulai menghiasi wajahmu. Lega rasanya, kau tak berlarut
dalam kesedihan.
****
Berbulan-bulan dengan sekuat tenaga, aku menyimpan perasaan ini agar
tak diketahui oleh. Menyimpan dan mengabadikannya di dalam buku kuning
yang kubeli beberapa bulan lalu. Buku itu menjadi saksi betapa aku
menyayangimu, dalam diam. Mungkin jika dia mau berbicara, dia akan mengeluh dan
bosan. Jika dia bisa berbicara, aku yakin dia akan bilang, “dasar
laki-laki pengecut, menulisnya tak akan bisa membuatmu mendapatkannya, cobalah
untuk menyampaikan.” Namun dia baik, dengan
segala kesabarannya mau mendengar dan mengabadikan perasaanku di setiap
lembarnya.
Kuakui aku memang lelaki pengecut,
yang tak berani mengungkap isi hati. Karena aku takut jika kusampaikan, bukan
mendapatkannya malah merusak pertemananku dengannya. Biarlah perasaan ini kupendam dahulu untuk saat ini.
Hingga akhirnya, kau mengetahui aku sedang menulis
sesuatu yang mungkin sangat rahasia. Dan kau penasaran. Aku lengah, kau
mengambil buku itu dariku. Kau lari, menjauh dariku, membawa perasaanku yang
ada di dalam buku itu.Aku terdiam, aku tak mengejarmu, membiarkan dirimu
membaca setiap kata yang ada di dalam buku itu. Hatiku berkecamuk, takut kau
marah, takut…ah entahlah.
Setengah jam kau pergi, membuat hatiku gelisah. Hingga
kau datang, membawa senyum bibirmu. Aku tak tahu apa maksudmu. Kau tersenyum
sembari menghampiriku yang sedang duduk dengan gelisah.
“Kamu gak marah?” tanyaku kepadamu. “Enggak, kenapa
marah? Aku nulis sesuatu di situ, tapi jangan dibaca sekarang, nanti aja di
rumah,” ucapmu kepadaku. Kemudian kau beranjak meninggalkanku, menitipkan
berbagai tanda tanya yang hinggap di kepalaku.
Aku berdiam diri di dalam keramaian, bertengkar dengan
pikiranku sendiri. Apakah yang dia tulis di dalam buku ini? Apakah lampu hijau
atau lampu merah? Apakah nanti dia bersamaku, atau malah semakin menjauh?
Seperti ada rakitan bom di buku itu. Aku benar-benar
tak berani membukanya, takut sewaktu-waktu akan meledak. Kusimpan buku itu di
dalam tas yang kupakai untuk sekolah, bersama buku-buku materi sekolahku.
Kutahan nafsuku untuk membuka dan membacanya hingga menunggu waktu untuk pulang
dan sampai di rumah.
“Hai.. aku adalah
orang yang dibicarakan di halaman ke dua tuh. Jujur dari dulu aku penasaran
banget dengan isi buku ini, aku dah nyuri-nyuri kesempatan buat nyari tahu isi
buku ini, eh malah ketahuan terus. Dan hari ini dengan cara memaksa aku minta
buku ini.
Aku terkejut, di halaman kedua isinya tentang aku. Dan
aku tak menyangka dia yang biasanya aku jahili, biasa bercanda denganku,
ternyata punya rasa sama aku. Jujur sih aku paham dengan kode-kode itu, tapi
akunya aja yang berlagak bodoh. Sebab aku takut kalau aku nanti sakit lagi
karena cinta. Tapi sih kalo aku dekat dia rasanya nyaman banget.”
Seketika kinerja jantungku serasa lebih cepat dari
biasanya. Mendorong darah di pembuluh darahku untuk mengalir lebih cepat. Ada
senyum yang tersimpul di hatiku dan ada juga gelisah yang terlukis di sana.
Aku merebahkan tubuhku, mataku menatap langit-langit
rumah.
“Hufftttt…” apa ini, apa maksudmu, aku tak tahu. Kau
bilang, kau nyaman bila di dekatku. Apa ini artinya kau mau membalas
perasaanku? Atau sekedar agar aku senang? Agar aku tak kecewa?
“Aahh.., apa-apaan aku ini, tak mungkin dia mau denganku.”
Pikiran-pikiran itu berkecamuk di otakku. Kupandangi
lagi tinta yang kau goreskan di lembar di bukuku. Hingga aku terlelap, meninggalkan kamu
yang ada di imajinasiku.
Dengan langkah yang diiringi bahagia, aku percaya diri.
Meninggalkan gelisah yang kemarin bermain di kamarku. Membawa setangkai mawar
merah yang kusimpan di hatiku. Menyiapkan beberapa kata untuk nanti kusampaikan
padamu. Bahwa nanti akan kuucapkan, aku mencintaimu.
Langkahku akhirnya sampai di depan pintu kelas tempatmu
bercanda dengan temanmu. Aku berdiri sambil memandangimu yang sedang duduk
begitu cantik bagiku. Perlahan aku maju, menuju bangku yang biasa kugunakan
untuk duduk.
Kubulatkan tekadku untuk menghampirimu.
“Hai, selamat pagi,” kuhampiri dirimu dengan duduk di
sampingmu.
“Oh hai selamat pagi juga,” fokusmu kini beralih
kepadaku.
Aku duduk di sampingmu sambil memandangimu, “ada apa?”
tanyamu.
“Emm, Rin, mungkin kamu sudah tahu bagaimana sebenarnya
perasaanku kepadamu,” ucapku dengan dirimu yang terpaku memandangku. Ririn itulah
namanya, nama yang selama ini membuat kocar-kacir pikiranku.
“Lewat tulisan-tulisan yang kutulis itu, seharusnya
kamu sudah paham. Jadi, maksudku adalah untuk pertama kalinya secara langsung,
biar kusampaikan bahwa Ririn, aku mencintaimu.” Hatiku begitu bergemuruh
mengucapkan kata-kata itu. Seakan matamu menyihirku untuk tak berpaling dari
tatapanmu. Kamu terdiam, sedikit kurasa ada senyum yang timbul di bibirmu.
“Kii, kamu tidak bercandakan?” tanyamu padaku dengan
pandangan mata yang sayu. Rifki, itulah namaku.
“Rin, adakah raut bercanda di wajahku,?” jawabku.
“Emmm, Kii, aku merasa tatapanmu begitu tulus kepadaku,
kalau boleh jujur, aku nyaman bila kamu ada di sampingku, aku bahagia bila bisa
mengganggumu, bisa menjahilimu, tapi aku belum sadar apa maksud dari perasaan
ini. Dan ternyata kamu lebih dulu menyadarinya. Tapi kii, aku takut, aku dulu
pernah sakit karena cinta.” Kau sampaikan perasaanmu dengan raut wajah memelas.
“Ririn, selama ini aku belum pernah jatuh cinta,
apalagi menyampaikan perasaanku secara langsung seperti ini. Entah, akupun tak
tahu dari mana datangnya nyaliku ini. Aku tak tahu kenapa aku punya rasa ini
kepadamu. Aku tidak memaksamu untuk membalas perasaanku, apalagi kau pernah
merasakan pahitnya cinta. Tapi satu yang harus kamu tahu, jika dirimu berjalan
bersamaku, aku memang tidak bisa memberikan kebahagiaan yang sempurna, tetapi
aku akan selalu berusaha menjagamu dengan segala kekuatanku.” Ucapku untuk
memantapkan hatimu.
“Kii, aku tidak bisa memberimu jawaban sekarang, aku
butuh waktu Kii,” ucapmu membalas kata-kata itu.
“Iya, aku tak berharap banyak darimu, karena aku tahu
siapa kamu, dan aku sadar siapa aku. Aku mau keluar dulu ya,” aku berpaling
darimu dengan meninggalkan gejolak resah di hatiku.
Maafkan aku, untuk siang ini kusiratkan kepadamu, “selamat berpikir dan merenung, Rin. Maaf karena terkesan memaksakan perasaanku untukmu.”
Penulis: M. Nur Kholis