dok. Freepik |
Jauh sebelum dewasa, kita pernah bersinggungan dengan kebebasan.
Melakukan semua hal yang kita sukai tanpa diperdaya berbagai persepsi yang
berasal dari aturan dan hukum yang terbentuk. Tentu kebebasan ini berangkat
dari pemikiran yang belum terkontaminasi oleh persoalan umum yang dialami saat usia
dewasa.
Masa di mana kita tak memikirkan masalah ekonomi. Tidur dimanapun dan
kapanpun yang kita inginkan, seakan kita menguasai waktu. Serta tak ada
pertanyaan-pertanyaan menyebalkan seperti, “Kapan wisuda?”, “Kerja di mana?”, “Kapan
menikah?”, “Kapan punya anak?”, dan pertanyaan lainyang membuat panik dan kikuk
seketika.
Namun tak ada yang abadi, kebebasan yang kita harapkan bernaung selamanya
dalam hidup ini perlahan-lahan direnggut usia. Mau tak mau semua dari kita akan
berhadapan langsung dengan kenyataan yang akan berlangsung setiap waktu. Mulai
dari persoalan gelar pendidikan hingga status pernikahan. Sehingga menjadi
dewasa nampaknya menjengkelkan sekali, seolah kebebasan yang dulu dimiliki tak
lagi mewarnai hari-hari yang kita jalani. Serta menjadi dewasa seakan menyisakan
hidup yang amat keras. Entah tuntutan dari diri sendiri atau berasal dari cibiran
sekitar.
Lantas, apakah kita tak punya kesempatan untuk merebut kembali kebebasan
yang membahagiakan itu? Jika dulu kita dapat melakukan semua hal tanpa
dihalangi persepsi orang lain. Maka saat dewasa, kita hanya perlu berpikir
merdeka dan bertindak penuh tanggung jawab. Hal ini mirip dengan bertindak
bebas sekaligus menjadi penurut pada orang tua saat kanak-kanak.
Sehingga kebebasan yang selalu kita persoalkan memiliki konteks
tertentu. Seperti dalam konteks bernegara, kebebasan berpikir dalam menyampaikan
pendapat dan kritik kepada otoritas negara merupakan hak dan kebebasan seluruh
warga negara. Namun, terkadang justru ada yang mengebiri kebebasan hanya karena
kepentingan suatu kelompok yang terganggu oleh kritik. Terkadang kita cuma
butuh kebebasan. Kebebasan menjadi diri sendiri untuk melanjutkan hidup hingga
semuanya selesai. Seperti kebebasan saya untuk menulis dan mengunggah apapun
yang saya kehendaki. Toh, saya tidak sedang menulis nama saya mencintai siapa
menggunakan love seperti tulisan di meja anak SD pada zamannya. Tidak pula
sedang menulis nama klub bola kebanggan serta nama organisasi di jembatan atau
tembok pinggir jalan yang seringkali terlihat jelas dari seberang jalan.
Penulis : Alza Nabiel Zamzami (HMJ PAI Angkatan 2019)