Media sosial adalah kata yang sering terdengar ditelinga kita karena kerap akrab mengisi keseharian mulai dari mencari informasi, mengekpresikan diri dan bahkan melakukan komunikasi. Media Sosial juga menyediakan sesuatu yang baru yaitu fungsi hiburan dan ekonomi, sehingga bisa dikatakan media sosial memiliki fungsi yang lengkap pertama sebagai alat komunikasi, kedua aktualisasi diri, ketiga sebagai sarana informasi dan terakhir sarana penunjang karir atau ekonomi. Fungsi media sosial yang multifungsi ini membuat mereka digunakan oleh hampir semua orang yang menggunakan teknologi komunikasi dan informasi seperti Handphone dan Laptop. Apalagi fenomena ini semakin diperkuat oleh adanya Internet yang memungkinkan manusia untuk bertukar informasi tanpa harus melalui batas geografi layaknya pada era dulu. Berdasarkan hasil survei APJII (Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia) di tahun 2018 Indonesia memiliki pengguna Internet sebesar 171,17.
Sementara itu bagi umat muslim mereka memiliki kewajban untuk hidup sesuai aturan agama islam. Itulah mengapa dalam islam ada konsep Dakwah sebagai bentuk pendidikan dan sarana saling mengingatkan agar kembali hidup dijalan Agama Islam. Dakwah ini biasa dilakukan dengan berbagai cara ada yang menggunakan cara ceramah biasanya para ulama, kyai atau ustadz yang memiliki kapasitas ilmu agama memadai. Cara konservatif lainya melalui mendirikan lembaga pendidikan islam seperti pesantren atau TPA (Taman Pendidikan Alquran) atau semacamnya agar masyarakat bisa lebih tertanam pemahaman keislamanya. Cara alternatif lain ada yang melalui Hikmah dengan cara mencontohkan perbuatan baik sehingga orang disekitar merasakan tertarik akan agama islam. Sedangkan cara terbaru atau kontemporer yaitu melalui media teknologi baik cetak maupun elektonik. Contoh media cetak dengan menuliskan di halaman koran atau membuat majalah khusus nuansa islam seperti majalah Hidayah. Contoh media elektronik bisa melalui Radio, Televisi dan bahkan musik modern bernada islami.
Disinilah titik awal Pro kontra dakwah melalui Plaform Media sosial terjadi. Perdebatan ini terletak pada dua Aspek yaitu pertama, Hukum dari boleh tidaknya berdakwah dengan teknologi. Kedua bagaimana dakwah yang benar menggunakan Media Sosial. Aspek perdebatan pertama lebih banyak perdebatan soal landasan hukum atau dalil Naqli. Terbagi menjadi dua kubu dalam perdebatan ini pertama yang membolehkan dengan alasan perkembangan zaman tidak bisa terhindarkan dan selama konteks isi teknologi tersebut baik maka mengapa tidak. Lagi pula Teknologi itu hanyalah alat jadi bergantung penggunanya apakah dia akan lebih banyak positif atau negatifnya. Argumen lainya yaitu sudah banyaknya konten yang tidak bernafaskan islam, sehingga apabila tidak dilawan justru generasi umat muslim sendiri yang akan merasakan dampaknya seperti rendahnya minat generasi muda belajar islam, rendahnya pengetahuan masyarakat seputar keilaman dan tidak ada konten edukasi penyeimbang.
Golongan kontra juga memiliki Argumenya tersendiri,
pertama bagi mereka dakwah menggunakan teknologi atau media sosial tidak pernah
dicontohkan secara langsung oleh Nabi dan para sahabat sehingga hal tersebut
termasuk penyimpangan sekalipun niatnya baik untuk syiar agama, karena
cara dan niat harus seimbang. Kedua bagi mereka lebih baik menghindar dari
media sosial dan teknologi dari pada harus sibuk melawan kontenya. Media sosial
itu Teknologi atau alat bukan makanan yang merupakan kebutuhan dasar, artinya
bisa dihindari dan bisa saja hidup tanpa hal tersebut. Mereka yang punya
argumen ini biasanya sangat membatasi hidup mereka dari teknologi dan bahkan di
beberapa kabupaten ada yang menerapkan larangan masjid menggunakan Speaker
atau mic. Jadi Azanya masih menggunakan suara tanpa pengeras suara disertai
bedug dan kentongan sebagai tanda bahwa telah masuk waktu shalat.
Tidak akan ada habisnya jika kita terus berfokus pada
perdebatan menurut penulis. Untuk itu diperlukan solusi atau jalan tengah untuk
melengkapi dan berusaha mengakomodasi dari Pro Kontra Media Sosial sebagai
Platform ini. Alasan penulis memiliki pendirian seperti ini karena penulis
melihat kedua golongan pada perdebatan aspek pertama adalah hak asasi manusia.
Artinya itu pilihan individu masing-masing, sebab jika dilihat dari landasan
hukum keduanya sama-sama memiliki dasar jika perdebatanya diperkeruh maka tidak
akan produktif. Penulis memilih untuk menyerahkan pada keyakinan individu
masing-masing selama tidak saling mencela pilihan dari golongan lain.
Perdebatan pada aspek kedua ini yang perlu ditindak lanjuti. Sebab keduanya
sama-sama benar pada hakikatnya namun keduanya memiliki kelemahanya
masing-masing. Sehingga penulis akan langsung fokus untuk menawarkan solusi
yang bisa melengkapi kekeurangan dua golongan tersebut sekaligus mengambil
sikap untuk produktif pada isu Pro Kontra ini. Solusi yang penulis tawarkan
yaitu “STRATEGI KTSP DALAM MENGATASI PERMASALAHAN PRO KONTRA MEDIA SOSIAL
SEBAGAI PLATFORM DAKWAH”. KTSP adalah singkatan dari empat aspek
berbeda yang nantinya akan saling melengkapi satu sama lain.
Aspek pertama yaitu “K” yang mewakili Kolaborasi. Maksud
dari Kolaborasi disini adalah untuk meminta seluruh pihak yang mau bekerja sama
untuk membantu bersama-sama dalam mengawasi dan mengawal dakwah di media
sosial. Pasalnya tidak jarang Dakwah di Media sosial terkadang tidak memenuhi
kriteria yang benar. Sebut saja dalam media sosial tiktok sempat ada polemik
karena salah satu istri ustadz terkenal melakukan joget-joget meskipun niatnya
dakwah. Sebenarnya joget atau tarian sendiri adalah khilafiyyah ulama,
namun pada saat itu banyak yang mempermasalahkan karena posisi beliau sebagai
istri seorang ustadz dan jenis jogetnya juga dianggap teralu erotis. Berbeda
dengan tarian islami yang biasa ada seperti tari sufi. Bukanya meminta maaf
kepada publik sang suami malah membela sang istri dan menyerang balik netizen.
Artinya sebenarnya diharapkan golongan terpelajar seperti Mahasiswa Jurusan
Pendidikan Islam, Siswa atau Akademisi Islam mampu menjadi penengah yang baik.
Dalam media sosial siapa saja bisa berpendapat, sehingga dibutuhkan peran
golongan terpelajar untuk bisa melakukan tiga hal. Pertama menjelaskan perkara
hukum tersebut menurut islam secara objektif (Sumber atau rujukanya jelas).
Kedua mengemas penyampaianya di kolom komentar agar tidak memperkeruh suasana
dan ringan agar mudah dimengerti golongan orang awam.
Ketiga mereka juga harus memberikan masukan yang
konstruktif ke konten kreator apabila terindikasi memang kontenya yang salah
baik substansi maupun cara. Sehingga terciptanya budaya dakwah di media sosial
yang lebih sehat. Tentu ini bisa berlaku pada media sosial apapun seperti Instagram,
Youtube, Facebook dan Twitter. Golongan terpelajar juga
bisa membantu mengawasi persebaran informasi literasi keislaman dalam media
sosial berbasis komunikasi. Seperti Whatssapp apabila ada broadcast
islami yang sumbernya tidak jelas, isinya tidak benar atau tidak memenuhi
kaidah penulisan yang baik. Sebaiknya membantu edukasi atau tidak menyebarkan.
Bisa juga membantu melalui media Google untuk mencari artikel islami
yang sangat melimpah jumlahnya namun tidak memenuhi kaidah penulisan yang baik.
Seperti tidak adanya sumber dan pengutipan yang baik menghasilkan tulisan yang
ambigu kredibilitas substansinya. Bisa dengan menhubungi penulis pada situs
tersebut atau komentar agar dia bisa memperbaiki tulisanya.
Aspek kedua adalah “T” mewakili Teknologi. Pemerintah,
profesional atau anak muda dari golongan terpelajar bisa membantu menciptakan
teknologi yang bisa membantu agar konten Dakwah bisa diperbaiki baik dari
substansi maupun penyampaianya. Sebagai contoh membuat Aplikasi serba guna yang
berisikan berbagai macam fitur untuk meyelesaikan masalah yang ada dalam dakwah
media sosial. Sebagai contoh seperti Masalah
teknik pengutipan atau penulisan yang kurang bagus, masalah khilafiyyah fiqh,
konten menyesatkan berbalut islami dan etika berdakwah di media sosial. Apabila
konten Hoaks secara spesifik sudah ada komunitas dan aplikasi khususnya untuk
memberantas isu tersebut mengapa kita tidak melakukan hal yang sama dengan isu
Dakwah di media sosial. Isi pengagas komunitasnya bisa dari mahasiswa atau
pemuda sedangkan pembuat aplikasinya bisa dilakukan oleh professional dan
pemerintah agar kualitasnya bagus. Sehingga masalah teknologi akan berimbang
jika diselesaikan dengan cara teknologi juga.
Aspek ketiga “S”
mewakili Santri. Artinya meminta peran Santri untuk turut ikut membantu
menyelesaikan permasalahan ini. Santri sebagai golongan terpelajar dalam
pendidikan agama islam tentu memiliki kapasitas tersebut. Mereka juga cenderung
memiliki sanad dan guru yang jelas sehingga akan lebih kuat justifikasi sumber
datanya ketika berdakwah di media sosial. Tinggal mereka perlu didampingi dalam
hal keterampilan teknologinya. Pada hakikatnya berdakwah dalam media sosial
juga membutuhkan kemampuan spesifik seperti mengoperasikan media sosial,
menulis naskah script konsep video,
membuat desain dan editting suara atau video. Santri yang
notabenenya memfokuskan waktu untuk belajar ilmu agama akan lebih bagus jika
diberikan pelatihan dari mahasiswa misal program pengabdian Himpunan mahasiswa
pendidikan Islam atau kerja sama dengan kementrian agama.
Hal ini sangatlah berguna karena Santri di masa depan
akan meneruskan peran Ulama dan sebagian dari mereka menjadi Ustadz atau ulama
minimal ditingkat kampungnya. Apabila sudah dibekali dengan keterampilan
seperti ini kedepanya mereka akan terbiasa dan mandiri untuk memproduksi konten
dakwah sendiri. Santri juga tidak dipaksa untuk menjadikan dirinya sebagai tokoh
utama dalam berdakwaah. Iya bisa membantu menyebarkan hasil kajian dari kyainya
atau lembaga pondok pesantrenya sehingga dua jenis golongan dalam perdebatan
bisa diwadahi preferensi dakwahnya. Ini juga akan meningkatkan aspek peran
pondok pesantren di masyarakat dalam edukasi islami. Santri juga bisa membantu
meluruskan konten-konten yang dianggap tidak benar di media sosial minimal
untuk wilayah masyarakat setempat saat pengajian mingguan agar tidak dicontoh
atau menimbulkan kegaduhan bagi orang awam.
Aspek keempat yaitu “P” mewakili Pemerintah. Penulis akan
kembali mempertegas pemerintah memiliki banyak sumber daya dari pajak yang
dibayarkan oleh rakyat harapanya bisa memberikan program atau terobosan tepat
sasaran. Ada banyak permasalahan dan isu dalam negeri ini itulah mengapa ada
banyak badan dan kementrian, maka dari itu inilah perlunya sinergi antar badan
pemeirntah agar bisa lebih optimal yang juga didukung oleh rakyat baik golongan
terpelajar, profesional maupun santri. Sebagai contoh Kementrian Agama bisa
membantu Aspek santri, Kementrian Kominfo bisa membantu Aspek Teknologi dan
Kementrian Pendidikan dalam Aspek Kolaborasi. Sebagai tambahan pemerintah bisa
sedikit memperbaiki substansi pendidikan agama islam di setiap tingkat agar
bisa lebih relevan dengan kebutuhan era ini. Contoh menambahkan Bab tentang
Khilafiyyah ulama dalam Teknologi dan Etika Dakwah Media sosial ini yang
dibutuhkan pada institusi pendidikan formal terutama bagi mereka yang bukan
santri baik tingkat Sekolah maupun Universitas.semisal jika pada tingkat
sekolah pada bab tertentu dan apabila mahasiswa pada mata kuliah wajib PAI.
Selain itu juga diajarkan cara memilih bacaan atau referensi dalam artikel
islami. Sehingga PAI tidak lagi akan dianggap sebagai ilmu hafalan melainkan
ilmu yang menarik dipelajari karena aktual dan relevan.
Berdasarkan argumen yang Penulis paparkan. Penulis yakin
dengan solusi Strategi KTSP pengawasan dakwah di media sosial diatas
sedikit banyak akan mampu membangun sinergi antar pihak sehingga terciptanya
dakwah di media sosial yang produktif, sehat dan juga kredibel. Tentu penulis
paham dengan beberapa golongan yang tetap tidak memperbolehkan namun demikian
penulis hanya akan fokus pada fakta ilmiah bahwa pengguna Internet dan media
sosial banyak dengan kita hanya berdiam diri atau fokus pada perdebatan pro
kontra maka tidak akan ada hasil konkrit yang bisa diraih. Sehingga penulis
memilih untuk produktif menyediakan solusi yang berusaha mengakomodasi beberapa
golongan yang mau berdakwah dalam media sosial sekalipun mereka tetap memiliki
pandangan standard yang berbeda.