dok. Freepik
Di
era post truth seperti sekarang ini, semua orang bisa mengunggah pesan-pesan
keagamaan di media sosial. Tidak hanya diunggah oleh pengguna yang mengerti dan
memahami agama, tetapi juga oleh siapa saja yang ingin mengunggah atau membagikan
ulang suatu pesan agama ke media sosial atau pengguna lain termasuk orang yang
tidak mengerti dan memahami agama. Karena setiap individu mempunyai kemudahan
untuk menggunggah konten-konten yang bermuatan agama, maka hal ini akan
berdampak pada kesamaran informasi yang diperoleh pengguna lain dari media
sosial.
Tidak
jarang kita temui unggahan-unggahan di media sosial yang justru menawarkan paham-paham
radikal, pasalnya sekarang ini media sosial juga dimanfaatkan oleh para
penganut paham radikal untuk menyebarkan paham mereka, misalnya penyebaran
paham radikal yang telah dilakukan ISIS sejak tahun 2011. Mereka melancarkan
propaganda dengan memanfaatkan jumlah pengguan media sosial yang sangat besar.
Di Indonesia juga terjadi penyebaran paham radikal melalui media sosial, dengan
melihat peluang besarnya pengguna media sosial mereka menyebar luaskan paham
radikal melalui media sosial. Menurut data yang disampaikan kepala Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar bahwa pengguna
internet di Indonesia saat ini mencapai 140 juta orang dan 90 persennya
menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial.
Meskipun
media sosial memiliki sisi negatif, tetapi media sosial juga memiliki banyak sisi positif. Misalnya para
da’i di Indonesia yang mulai memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan paham
Islam yang moderat. Hal ini memang perlu dilakukan untuk menangkal paham-paham
radikal yang menyebar luas di sosial media. Kita memang tidak mampu untuk menetralkan
media sosial dari penyebaran paham radikal, tetapi kita bisa membuat tandingan
dari hal itu dengan menyebarkan paham moderat di media sosial. Strategi semacam
ini digunakan oleh Sunan Ampel ketika menghadapi para penganut Bhairawa Tantra.
Beliau membuat upacara kenduri yang dihadiri laki-laki dan perempuan yang
dilakukan melingkar seperti upacara panca makara atau mo-limo
(upacara penganut Bhairawa Tantra) namun diisi dengan pembacaan dzikir dan
shalawat. Dengan dibuatnya upacara kenduri tersebut diharapkan masyarakat akan
terselamatkan dari praktik mo-limo. Demikian pula dengan berdakwah
melalui media sosial, saat kita menyebarkan paham moderat di media sosial,
diharapkan para pengguna media sosial akan terselamatkan dari paham radikal
yang juga disebarkan melalui media sosial.
Dakwah menggunakan media sosial memang menjadi dilema tersendiri bagi sebagian kalangan, selain beralasan berkurangnya keberkahan, ada juga yang khawatir jika terjadi kemelencengan niat saat melaksanakan dakwah melalui media sosial. Meskipun demikian, kita tidak bisa serta merta menolak adanya dakwah melalui media sosial, sebab dakwah menggunakan media sosial bisa dikatakan sebagai sebuah keniscayaan. Para da’i harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, kemudian memanfaatkan kemajuan teknologi untuk sarana berdakwah. Dakwah melalui media sosial adalah salah satu alternatif yang ditawarkan oleh perkembangan zaman, terlebih di masa pandemi seperti sekarang ini. Ketika masyarakat dilarang untuk membuat kerumunan dan interaksi sosial dibatasi, interaksi secara virtual masih dapat dilakukan seperti biasa. Ini membuktikan bahwa media sosial dapat dijadikan sarana berdakwah yang mudah, murah dan fleksibel.
Penulis : Muhammad Najwa Maulana