dok. Semu Creative
Aris ingin berhijrah. Ia merasa malu, atas segala perangainya yang telah lalu. Dan kesadaran Aris membungkam dirinya begitu saja, setelah pertemuannya dengan seorang siswi pendiam. Atas kebaikan sebuah pensil biru, yang akan menjadi saksi hijrahnya.
Begitu juga dengan Naura. Naura ingin mempertahankan tekadnya untuk tetap menjadi baik, ia tak ingin mengecewakan ayahnya lagi yang telah tenang dalam dekapNya. Dan sebuah pensil biru miliknya, akan menjadi perantara dalam kisahnya.
¬-.-.-.-.-.-.-.-
”Waktu itu, kau yang menyelamatkan diriku saat ujian yang lalu, aku merasa tak pantas merasakan kebaikanmu. Kalau saja, tak ada dirimu disana, mungkin aku sudah binasa kala itu. Dan pensil biru ini, akan terus tergenggam, sampai kau menjadi milikku. Yang setia menunggu- Aris”
Naura begitu terhenyak ketika sampai di ujung kalimat dalam selembar kertas kuning itu. Pagi ini ia mendapati sebuah amplop di atas mejanya, janggal rasanya.
Ia teringat, sebelumnya juga, setelah ia membantu seorang kakak kelas ketika ujian susulan tempo hari, setiap pulang sekolah, ia selalu mendapati kakak tingkatnya itu berdiri mematung di samping gerbang sekolah, dan bertingkah aneh ketika Naura melewati dirinya.
Setelah itu, Naura tiba-tiba terisak. Dia memang alumni sebuah pesantren masyhur, jadi tak heran ketika mendapati dirinya yang begitu menjaga diri, apalagi lisan. Tak ada yang tak berfaedah dari apa yang meluncur dari lisanya.
Tangis Naura semakin menjadi. Ia tak ingin menjadi perhatian teman-temannya lagi. Maka, tanpa berpikir panjang, ia menulis sebuah surat balasan yang kemudian akan menjadi perantara hidayahNya.
-.-.-.-.-.-.-.-
Aris memacu sepedanya cepat sekali, ia begitu penasaran dengan isi surat balasan dari Naura.
Sepulang sekolah tadi, Aris melakukan ritual wajibnya untuk menunggu orang yang selalu menggetarkan hatinya. Tapi, Naura aneh sekali, dengan wajahnya yang cemas dan tertunduk dalam, tiba-tiba ia menyodorkan selembar kertas yang terlipat rapi.
Aris kini sudah terduduk di pinggir danau, pandangannya tak lepas dari surat kecil itu, maka sudah tak ada lagi kata sabar.
“Kepada Kak Aris, kak, apalah arti perasaan kak Aris ini? Dan, apalah arti dari diriku yang penuh dosa ini? Kak, tak ada sedikitpun rasa ingin merendahkan Kak Aris, tapi semua yang kakak rasa saat ini, mungkin juga aku rasakan.
Tapi, bagiku semua itu hanyalah rasa yang semu, dan bisa ikut menghantarkan kita ke panasnya neraka jika kita mengizinkannya. Kak, cinta tak pernah punya salah, tapi sikap kita yang akan disalahkan. Dan sejatinya, cinta haqiqi sebenarnya adalah cinta kepada dan karena Allah.
Dan ada sedikit pesan dari ayahku, beliau menunggu kak Aris bertamu, berikut dengan Ar-Rahman nya. Salam, Naura”
Tak terasa, air mata Aris telah meleleh jatuh.
Sekarang, yang ada di dalam pikiran Aris. Dia ingin menjadi baik. Dia ingin berhijrah.
La hawla wa la kuwwata ila billah.
-.-.-.-.-.-.-
Ba’da shubuh, 8 tahun kemudian
Lantunan surah Ar-Rahman bergema seantero masjid raya, ikrar suci sekali lagi menyatukan takdir, tepat di depan mihrab yang agung. Aris dan Naura terisak pelan, penuh syukur atas setiap taufikNya.
Tak banyak yang tahu, sebuah pensil biru kusam dalam genggaman Aris itu memiliki sebuah kisah. Kisah mulia yang begitu indah disaksikan seluruh penghuni langit.
Fabiayyi ala i rabbikuma tukadziban.
Penulis : Reineta Dian Kusumawati (Kominfo HMJ PAI 2021)