Dalam era disrupsi, pendidikan dinilai harus beradaptasi dengan perubahan yang diakibatkan oleh kecepatan akses teknologi informasi yang berdampak pada pola pembelajaran dan pengajaran di berbagai lembaga pendidikan. Pendidikan menjadi sangat penting karena memiliki peran untuk menyiapkan sumber daya manusia yang unggul untuk menyongsong segala tantangan. Tanpa pendidikan, manusia tidak akan pernah mengenal hakikat dari ilmu pengetahuan.
Ilmu yang dapat digunakan ke dalam kehidupan sehari-hari, mengenal segala alam dan isinya dengan sebuah kata yang disadur dalam teori-teori yang bertebaran dalam buku-buku yang tersusun rapi di perpustakaan. Pendidikan yang secara mudah dan murah didapatkan adalah ketika berlangsungnya sebuah proses pengajaran dan pembelajaran di sekolah. Kemajuan teknologi termutakhir menimbulkan perubahan pada pendidikan, terutama pada model pengajaran, media pembelajaran, dan sudut pandang pelaku pendidikan.
Salah satu hal yang menjadi
permasalahan hari ini, kaum pendidik yang sudah memasuki usia senja, tidak dapat
mengikuti tren pembelajaran gaya masa kini yaitu dengan mengkombinasikan model
pendidikan dan media pendidikan yang terbarukan. Para kaum pendidik tua masih
menggunakan gaya klasikal, yaitu penggunaan model ceramah tiada henti, dengan
menggunakan papan tulis dan mengevaluasi hasil pembelajaran dengan menggunakan
modul pembelajaran dengan jenis LKS (Lembar Kerja Siswa) yang instan tersedia.
Padahal berdasarkan UU Sisdiknas
No. 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Namun, saat ini
pembelajaran yang ada di sekolah hanyalah suapan materi berat dan tidak memberi
kesempatan peserta didik untuk berekspresi secara total.
Sedangkan, dalam paparan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Bidang Pendidikan, dalam Konsep dan Implementasi Kurikulum 2013 (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014), dalam penyempurnaan pola pikir perumusan kurikulum, ada beberapa poin penting yang dapat kita sorot yaitu:
Standar Kompetensi Lulusan diturunkan dari kebutuhan.
Standar Isi diturunkan dari Standar Kompetensi Lulusan melalui Kompetensi Inti yang bebas mata pelajaran.
Semua mata pelajaran harus berkontribusi terhadap pembentukan sikap, keterampilan dan pengetahuan.
Mata pelajaran diturunkan dari kompetensi yang ingin dicapai; Semua mata pelajaran diikat oleh Kompetensi Inti (tiap kelas).
Hal ini menjadi pendorong perlunya merumuskan kurikulum berbasis observation based learning untuk meningkatkan kreativitas peserta didik. Di samping itu juga, dibiasakan bagi peserta didik untuk bekerja dalam collaborative learning. Sehingga akhirnya dirumuskan suatu pembelajaran berbasis saintifik.
Berbicara mengenai pendidikan, pasti tidak luput dengan yang namanya sekolah, madrasah dan berbagai lembaga pendidikan lain. Pemerintah kali ini berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada jasa pendidikan atau sekolah. Hal ini tertuang dalam revisi Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang diajukan pemerintah dan akan dibahas dengan DPR. Dalam aturan tersebut, sektor pendidikan dihapus dari daftar jasa yang tak terkena PPN. Artinya, jasa pendidikan akan segera dikenakan PPN bila revisi UU KUP disahkan.
Padahal, jasa pendidikan sebelumnya tidak dikenai PPN sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 223/PMK.011/2014 tentang Kriteria Jasa Pendidikan yang Tidak Dikenai PPN. Saat ini, jasa pendidikan yang bebas PPN di antaranya yaitu pendidikan sekolah seperti PAUD, SD hingga SMA, perguruan tinggi, dan pendidikan luar sekolah. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai upaya pemerintah yang akan mengenakan PPN untuk sekolah sama saja mengarahkan pendidikan ke arah komersialisasi.
Menanggapi asumsi dan opini mengenai PPN yang akan dikenakan bagi sekolah, pada Kamis (17/06) lalu Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) menyampaikan bahwa pemberlakuan PPN pada pendidikan hanya untuk sekolah mewah. Sementara, jasa pendidikan yang kegunaannya dimanfaatkan oleh masyarakat banyak tetap tidak akan dikenakan PPN. Hal ini disebabkan selama ini anggaran pendidikan sebesar 550 Triliun Rupiah, ikut tersalurkan ke sekolah mewah. Oleh karena itu, supaya tidak terjadi kesenjangan antara sekolah mewah dan sekolah biasa maka PPN diberlakukan pada sekolah yang tergolong mewah tersebut.
Penulis : Azka Nurfadila (Kominfo HMJ PAI 2021)