Diajukan untuk mengikuti Lomba KTI
PEKAN ILMIAH SUMPAH PEMUDA
HMJ PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
Disusun oleh :
FAQIH MUHAMMAD FATAR 1803016088
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UIN WALISONGO SEMARANG
A. PENDAHULUAN
“Pendidikan 4.0” adalah sebutan dalam dunia pendidikan yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, jaringan internet, serta aktifitas media sosial. Namun Pendidikan 4.0 bukanlah suatu sistem yang sudah tersusun sempurna. Pendidikan 4.0 tetap memunculkan problematika, diantaranya kurang peduli pada ilmu agama karena terlalu fokus pada ilmu-ilmu duniawi dan bisa bermuara pada terjadinya degradasi moral generasi penerus bangsa. Maka paradigma “Unity of Science” hadir sebagai solusi jangka panjang menghadapi problematika tersebut. Dalam paradigma tersebut dikembangkan ilmu pengetahuan yang berbasis agama dengan sains sekaligus. Revitalisasi Local Wisdom (Kearifan Lokal) menjadi salah satu strategi dalam paradigma tersebut. Salah satu nilai yang termasuk Kearifan Lokal yaitu nilai sumpah pemuda. Ada banyak nilai yang bisa diambil dari sumpah pemuda, sebut saja mendahulukan kepentingan bangsa daripada kepentingan individu, bergotong royong, hingga menghargai kebersamaan. Maka merevitalisasikan nilai antikorupsi berbasis pada paradigma “Unity of Science” menjadi opsi yang tepat untuk mengimplementasikan nilai-nilai sumpah pemuda sekaligus menjaga moral generasi penerus bangsa.
B. PEMBAHASAN
Memasuki abad ke-21 istilah “Revolusi Industri 4.0” marak digaungkan dan menjadi headline di berita-berita baik nasional maupun internasional dalam beberapa waktu terakhir. Definisi revolusi industri secara sederhana yaitu terjadinya kemajuan teknologi besar-besaran yang berdampak signifikan pada bidang-bidang industri dan non-industri, seperti ekonomi, budaya, bahkan pendidikan. Revolusi Industri 4.0 ditandai dengan integrasi antara kegiatan produksi industri dengan dunia komputerisasi digital. Artinya semua peralatan terhubung melalui internet. Maka dalam bidang pendidikan muncullah istilah “Pendidikan 4.0”.
Pendidikan 4.0 adalah respon terhadap kebutuhan revolusi industri 4.0 di mana teknologi dikolaborasikan dengan manusia untuk menciptakan terobosanterobosan baru yang kreatif dan inovatif. Pendidikan 4.0 pun identik dengan beberapa tren di antaranya pembelajaran tidak terbatas ruang dan waktu; pembelajaran bisa dilakukan peserta didik secara mandiri, dan peserta didik memiliki kebebasan dalam belajar. “Pendidikan 4.0” juga ditandai dengan tekanan dari gelombang besar perubahan pada teknologi, standar kualitas, bahkan cara pembelajaran. Hal inilah yang menjadi pembeda dengan pendidikan di era sebelumnya yang cenderung monoton dan hanya dilaksanakan di kelas. Progres teknologi yang terlalu pesat beresiko “memanjakan” peserta didik yang kurang mendapat pendampingan dari orang tua maupun guru, enggan bertanggung jawab, bahkan degradasi moral. Hal ini disebabkan minimnya pendidikan nilai serta pembentukan karakter-kepribadian peserta didik oleh pendidik. Namun Pendidikan 4.0 dengan segala kemajuannya dan terlihat seperti program yang visioner bukannya tanpa celah. Semakin kuatnya arus teknologi justru bisa menjadi boomerang jika tidak digunakan secara bijak oleh pendidik maupun peserta didik. Degradasi moral tentu bukanlah hal yang cukup dipandang sebelah mata oleh kalangan kaum terdidik. Sepandai-pandainya manusia namun tindakannya amoral tentu tidak mencerminkan generasi bangsa yang sesuai harapan. Menyikapi problematika Pendidikan 4.0 di atas maka dibutuhkan terobosan baru dalam bidang keilmuan yang mampu menekan resiko perilaku amoral peserta didik. Salah satunya adalah dengan pendidikan berbasis paradigma “Unity of Science” atau “Kesatuan Ilmu”. Mahfud Junaedi menjelaskan dalam bukunya : “paradigma “Unity of Science” berangkat dari prinsip tauhid dan merupakan gagasan dari al-Farabi (abad ke-9) yang dikembangkan filsuf Islam modern seperti Muhammad Naquib, al-Faruqi, dan lainnya....”
Definisi sederhana dari paradigma ini adalah kesatupaduan ilmu pengetahuan manusia yaitu ilmu agama dengan ilmu umum (sekuler) dengan tauhid sebagai landasan utamanya. Artinya, paradigma ini mengaitkan ilmu umum seperti matematika, biologi, geografi, dan lainnya dengan ilmu agama seperti Al-Qur’an, tafsir, atau lainnya. Paradigma ini akan bermuara pada tujuan utama yaitu mengEsakan Tuhan, bahwa Allah-lah sumber semua ilmu pengetahuan manusia. Paradigma “Unity of Science” akan menjadi angin segar sekaligus solusi konkrit problematika dalam Pendidikan 4.0. Paradima ini memiliki 3 strategi di dalamnya yaitu : (1) Humanisasi Ilmu Keislaman; (2) Spiritualisasi Ilmu Modern; dan (3) Revitalisasi Local Wisdom (Kearifan Lokal). 5 Kearifan lokal merupakan kekayaan budaya lokal yang di dalamnya terkandung falsafah hidup dengan tujuan menguatkan karakter bangsa. Kearifan lokal bisa dipandang sebagai salah satu solusi untuk menyelamatkan moral generasi penerus bangsa. Ketika paradigma ini diterapkan dalam Pendidikan 4.0 maka peserta didik tidak hanya mendapatkan ilmu secara teori saja, namun terdapat penanaman nilai-nilai luhur sedari dini. Saat ini paradigma “Unity of Science” sudah mulai diterapkan perguruan tinggi keislaman di Indonesia, seperti UIN Walisongo Semarang, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan pengembangan konsep khasnya masing-masing. Penerapan paradigma “Unity of Science” pada jenjang sekolah pun dipandang sesuai dan efektif dalam menghadapi problematika Pendidikan 4.0. Salah satu kearifan lokal yang bisa dimasukkan dalam paradigma “Unity of Science” yaitu nilai sumpah pemuda. Sumpah pemuda lahir 92 tahun yang lalu, tepatnya pada 28 Oktober 1928. Namun momentum sumpah pemuda tentu harus terus dihidupkan utamanyadi era millenial sekarang ini. Semangat yang menjiwai pemuda-pemuda Indonesia menjadi nilai tersendiri dalam menumbuhkan persatuan sebagai modal memasuki masa depan yang lebih baik. Intelektualitas yang tinggi, mengutamakan kebersamaan dan kekeluargaan, sikap rela berkorban, hingga mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan sebagian golongan kiranya menjadi indikator generasi yang cinta pada negerinya.
Sudah sepatutnya nilai-nilai dari sumpah pemuda diimplementasikan dalam dunia pendidikan. Pemuda bangsa Indonesia harus jeli melihat fenomena sosial kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang terjadi dewasa ini. Kita bisa melihat melalui tayangan di layar televisi, surat kabar, bahkan media sosial mengenai krisis-krisis yang melanda bangsa ini. Ditambah bobroknya sikap para penguasa dengan kasus-kasus seperti korupsi, penggelapan pajak, penyalahgunaan wewenang, sampai “jual-beli” hukum yang bisa dilakukan oleh orang-orang kaya dengan oknum pegawai pemerintahan. Mempertahankan nilai-nilai luhur ketimuran menjadi suatu keharusan di samping progresif dalam berkarya maupun berkarir. Karir boleh cemerlang, harta boleh saja melimpah ruah, namun sikapnya pun harus mencerminkan dirinya sebagai manusia serta sebagai rakyat Indonesia.
Salah satu cara untuk menciptakan generasi penerus yang bermoral adalah revitalisasi nilai anti-korupsi. Nilai anti-korupsi di definisikan sebagai nilai yang bertujuan membentuk kepribadian yang bersih dan peka terhadap ancaman korupsi sekaligus berperan dalam melawan korupsi. Dalam Instruksi Presiden RI Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dijelaskan bahwa Presiden Republik Indonesia secara khusus menginstruksikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melaksanakan aksi pengembangan pendidikan anti-korupsi pada perguruan tinggi. Ada sembilan nilai anti-korupsi yaitu kejujuran, kepedulian, kemandirian, kedisiplinan, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, keberanian, dan keadilan. Nilai anti-korupsi perlu direvitalisasi khususnya di era Pendidikan 4.0 sebagai respon dari krisis kepercayaan yang terjadi di Indonesia.
Tentu diperlukan strategi, pendekatan, metode, hingga teknik dalam merevitalisasi nilai anti-korupsi yang relevan dengan era millenial. Strategi yang tepat dalam menanamkan nilai anti-korupsi salah satunya yaitu strategi transinternal, yaitu dengan cara pendidik dan peserta didik saling berbincang mengenai korupsi dan nilai anti-korupsi. Mereka saling menyampaikan informasi dan pendidik harus membangun pemahaman mengenai urgensi nilai anti-korupsi pada peserta didiknya. Kemudian pendekatan yang tepat yaitu pendekatan rasional. Pendekatan ini berusaha memberikan pemahaman pada akal mengenai kebenaran pada nilai anti-korupsi. Ketika kesadaran peserta didik telah menerima nilai anti-korupsi, maka sikap afektifnya mendorong dirinya untuk menyetujui dan menghargai nilai anti-korupsi tersebut.
Selanjutnya metode yang sesuai untuk menanamkan nilai anti-korupsi yaitu metode reflektif. Metode ini membelajarkan nilai anti-korupsi dengan cara mengenalkan kasus korupsi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, kemudian dikembalikan pada konsep teoritis mengenai nilai anti-korupsi agar dapat dipahami peserta didik. Terakhir, teknik yang relevan untuk menanamkan nilai anti-korupsi yaitu teknik analisis nilai dan internalisasi nilai. Teknik analisis nilai tujuannya memberikan wawasan peserta didik secara luas mengenai nilai antikorupsi. Sedangkan teknik internalisasi nilai bertujuan menyatukan nilai antikorupsi dengan kepribadian peserta didik hingga sampai pada taraf karakterisasi.7 Nilai anti-korupsi pun tidak hanya diperuntukkan bagi peserta didik saja, namun juga perlu terus digaungkan bagi pendidik, para orang tua, bahkan pegawai sekolah sekalipun.
Berbasis pada paradigma “Unity of Science” maka revitalisasi nilai antikorupsi bisa dimasukkan ke dalam berbagai bidang keilmuan. Tidak hanya pada bidang pendidikan kewarganegaraan maupun bidang keagamaan, keilmuan seperti matematika, geografi, biologi, dan lainnya pun didalamnya bisa disisipkan nilai anti-korupsi. Ibarat pepatah “sambil menyelam minum air”, selain peserta didik mendapat pengetahuan pada bidang kognitif, ia juga bisa membangun sikap afektifnya hingga nanti akan tercapai tujuan utama yaitu pembentukkan kepribadian sesuai nilai-nilai luhur Bangsa Indonesia.
C. PENUTUP
Pendidikan 4.0 yang merupakan refleksi dari era Revolusi Industri 4.0 di bidang pendidikan tentu terdapat keunggulan. Namun keunggulan sistem komputerisasi serta digitalisasi ternyata beresiko pada kurangnya pendalaman sikap afektif bahkan degradasi moral. Muncullah paradigma “Unity of Science” yang menyatukan ilmu umum dengan ilmu agama. Kaitannya dengan Pendidikan 4.0 adalah bahwa paradigma ini menggabungkan ranah kognitif dengan ranah afektif dalam satu kesatuan, sehingga peserta didik tidak hanya menguasai teori keilmuan namun juga mampu membentuk kepribadian yang sesuai nilai luhur Bangsa Indonesia.
Salah satu nilai luhur Bangsa Indonesia tercipta dari momentum Sumpah Pemuda. Esensi dari Sumpah Pemuda terefleksi dalam nilai anti-korupsi. Revitalisasi nilai anti-korupsi pun menjadi salah satu solusi konkrit mengatasi problematika Pendidikan 4.0. Dengan strategi, pendekatan, metode, maupun teknik yang relevan, serta berbasis pada paradigma “Unity of Science” maka revitalisasi nilai anti-korupsi diharapkan mampu menjadi salah satu implementasi nilai sumpah pemuda agar tercipta generasi penerus yang unggul dalam keilmuan serta luhur dalam bermoral.
D. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2019. Pendidikan di Era Revolusi Industri 4.0. JURNAL SUNDERMANN. 1(1). http://jurnal.sttsundermann.ac.id/index.php/ sundermann/article/view/18/16. Diakses : Oktober 2020
Junaedi, Mahfud. 2019. PARADIGMA BARU FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM, Cet. ke-2, Jakarta: PRANADAMEDIA.
Junaedi, Mahfud, dan Mirza Mahbub Wijaya. 2019. PENGEMBANGAN PARADIGMA KEILMUAN PERSPEKTIF EPISTEMOLOGI ISLAM. Jakarta: PRENADAMEDIA
Manurung, Rosida Tiurma. 2012. Pendidikan Antikorupsi sebagai Satuan Pembelajaran Berkarakter dan Humanistik. Jurnal Sosioteknologi. 11 (27). http://journals.itb.ac/index.php/sostek/article/view/1103/709. Diakses : Oktober 2020
Reflianto, dan Syamsuar. 2018. Pendidikan dan Tantangan Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi di Era Revolusi Industri 4.0. E-TECH Jurnal Ilmiah Teknologi Pendidikan. 6(2). http://ejournal.unp.ac.id/ index.php/e-tech/article/view/101343/100535 . diakses : Oktober 2020.